ADA BEBERAPA HAL YANG DAPAT SAYA GARIS BAWAHI MENGENAI KEHIDUPAN DI SEKOLAH FINLANDIA. SETIDAKNYA MAMPU MEMBERIKAN PENCERAHAN BAGI GAYA DIDIKAN DI INDONESIA.
1. Persamaan
Persamaan (equality) menjadi dasar utama dalam kesuksesan pendidikan di Finlandia. Mereka memberikan gaya pengajaran, kurikulum, dan fasilitas yang sama bagi seluruh sekolahan. Mereka tidak juga membagi kelas berdasarkan nilai, hingga tiada istilah kelas unggulan dan kelas biasa. Semuanya bercampur tanpa kotak-kotak si pintar dan si bodoh. Pun tiada ranking dalam seluruh penilaian, baik itu ranking murid di dalam kelas, ranking antar kelas dalam satu sekolah, ranking antar sekolah dalam satu wilayah, hingga ranking sekolah berdasarkan propinsi. Bahkan tidak dianjurkan memberikan nilai dalam bentuk angka. Sistem seperti ini bertujuan agar tidak ada kesenjangan antar murid maupun antar sekolah. Ditambah dengan tiada sekolah swasta dan bebas aneka pungutan, semakin membuktikan kalau Finlandia pantas meraih predikat negara dengan sistem pendidikan terbaik.
2. Waktu Bersekolah
Pada dasarnya, sekolah memberikan kebebasan bagi anak-anak untuk kapanpun memulai masuk dalam pendidikan formal. Namun, umumnya anak-anak Finlandia baru bersekolah pada usia tujuh tahun. Masa dirasa cukup bagi para bocah untuk belajar, setelah tahun-tahun sebelumnya mendapatkan kebebasan penuh hanya puas bermain terlebih dahulu. Umur tersebut dirasa waktu paling tepat bagi anak-anak untuk mengenal dunia belajar di dalam kelas.
3. Belajar Mengajar
Foto: Belajar (diambil dari: http://certificationmap.com/finland-education-system/)
Mereka membentuk perangai murid yang kritis. Anak-anak boleh berlari di dalam kelas, diijinkan untuk bertanya kapan saja kepada guru, sesekali berkutat dalam kelompok untuk mengenal arti kerja sama. Uniknya, setiap anak mendapatkan tugas yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan masing-masing. Setiap guru dituntut untuk mengenal pekerjaan apa yang cocok untuk setiap muridnya. Bahkan guru jarang sekali lama-lama berbicara seorang diri di depan kelas. Sebagian besar waktu digunakan untuk belajar sambil bermain bersama murid-murid. Rentang waktu belajar mengajar di sekolah Finlandia justru paling pendek, sebagian besar waktu anak-anak dihabiskan dengan bermain di luar daripada di dalam kelas. Satu hal lain yang tak kalah pentingnya, mereka jarang sekali memberikan pekerjaan rumah (PR).
4. Guru Terbaik
Setiap guru mengurus jumlah murid yang terbilang kecil, sekitar dua puluhan siswa. Guru tersebut juga terus-menerus yang menjadi tenaga pengajar selama beberapa tahun pada kelompok siswa tersebut. Hal ini dimaksudkan agar ada kedekatan secara personal antara guru dengan murid, selain itu guru akan mengenal baik perkembangan muridnya dari tahun ke tahun. Dengan tujuan akhir, guru dapat menuntun siswanya untuk mengembangkat bakat dan kemampuan mereka.
Finlandia melakukan perekrutan hanya kepada guru-guru yang berkualitas. Tugas guru tidak hanya mengajar, tetapi merangkul anak-anak untuk mengembangkan kreativitas. Guru pun tidak wajib menuruti 100% silabus dari pemerintahan tetapi memiliki hak sepenuhnya untuk bersuara demi kemajuan pendidikan mereka. Di sinilah peran aktif guru yang harus bersikap inovatif dalam proses belajar mengajar. Mereka membuka akses seluas-luanya kepada murid-muridnya yang ingin berkomunikasi, melalukan konseling, hingga dalam menghadapi kesulitan.
Saya seperti tumbuh dengan anak-anak saya sendiri. Saya melihat masalah yang mereka hadapi ketika mereka kecil. Dan, kini setelah lima tahun, saya masih melihat dan memahami perkembangan yang terjadi dalam masa muda mereka, langkah terbaik yang bisa mereka lalukan. Saya katakan kepada mereka saya seperti ibu sekolah mereka” tuturnya. (Ibu guru Marjaana Arovaara-Heikkinen-pen) [http://mediaonlinenews.com/dunia/firlandia-negara-dengan-sistem-pendidikan-terbaik-di-dunia]
Di setiap akhir tugas, guru melakukan evaluasi mengenai perkembangan masing-masing anak didiknya. Tentu saja, guru mendapatkan kompensasi yang setimpal, sebagai profesi yang sangat membanggakan karena memiliki peran penting dalam membentuk karakter anak bangsa.
5. Kurikulum
Foto: Kurikulum Finlandia (info dari: http://www.metafilter.com/tags/finland)
6. Bebas Kepentingan
Pemerintah Firlandia bertanggung jawab penuh terhadap perkembangan murid, guru, dan kondisi sekolah. Pihak tersebut juga 100% terbebas dari kepentingan kelompok tertentu, kepentingan para pendidik, kepentingan bisnis, maupun politik dan militer. Tidak ada istilah buku-buku, aneka les privat yang dimanfaatkan sebagai komoditas. Sekolah benar-benar bersifat mandiri dan diperuntukkan untuk menyetak generasi penerus bangsa yang berbobot.
7. Budaya Membaca
Faktor luar yang juga menentukan adalah budaya membaca yang sudah berpendar di khalayak Finlandia. Peran orang tua juga penting sebagai pihak pertama yang menanamkan budaya membaca tersebut. Sehingga para bocah tersebut sudah terbiasa dengan budaya membaca sedari kecil.
Foto: Membaca (foto dari: http://finland.fi/public/default.aspx?contentid=160104)
Berdasarkan tes PISA (Program For International Student Assessment), yang bertugas menguji perkembangan anak-anak sekolah pada usia 15 tahun di seluruh dunia, membuktikan kalau anak-anak Finlandia mengalami kemajuan yang pesat. Program yang dilaksanakan oleh Organisation For Economic Co-operation and Development (OECD) ini untuk mendapatkan metode pendidikan yang paling sempurna di dunia.
Poin-poin tersebut dapat menjadi ikhtibar bagi perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia. Agaknya banyak hal pada sistem pendidikan Indonesia yang perlu diperbaiki. Mulai dari pemerataan pendidikan di seluruh wilayah, gaya pengajaran, penyeleksian guru ulung bukan sekedar rentang waktu pengabdian, hingga dukungan dari masyarakat Indonesia. Semua hal tersebut memiliki satu tujuan, yaitu menciptakan sistem pendidikan yang tepat bagi anak-anak bangsa sebagai pemegang tongkat estafet pemimpin di masa depan.
LINGKUNGAN YANG KONDUSIF
Saya kembali teringat dengan pemikiran Charlotte Mason, seorang pendidik yang menghabiskan hidupnya dengan meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak. Saya cukup tergelak dengan keyakinan kalau tenaga pengajar jangan mengambil alih tugas anak-anak dalam mencerna pelajaran dengan sendirinya. Guru-guru bukanlah sosok yang bertugas untuk sekedar melakukan transfer ilmu, tetapi sebagai pembimbing bagi anak-anak untuk menyelami pelajaran, karena setiap anak terlahir dengan unik dan memiliki karakteristik tersendiri.
Charlotte emphasized treating each child as a person, not as a container into which you dump information. She believed that all children should receive a broad education, which she likened to spreading a feast of great ideas before them.
(Charlotte menekankan bagaimana memperlakukan setiap anak sebagai pribadi, bukan sebagai wadah dimana Anda membuang informasi. Dia percaya bahwa semua anak harus menerima pendidikan yang luas. Ibaratnya dengan menyebarkan ide-ide besar terlebih dahulu kepada mereka)
Sebagai diri sendiri, dapat membentuk suasana pendidikan yang mengayomi dengan tidak membandingkan nilai satu anak dengan anak lainnya. Juga dengan tidak bertanya ranking berapa mereka saat ini. Pun dengan tidak memberikan kalimat negatif yang dapat merendahkan semangat belajar mereka. Kita dapat bersikap terbuka pada siapa saja yang hendak bertanya soal pelajaran, atau menceritakan pelajaran dengan bahasa ringan. Kondisi lingkungan seperti ini dapat menurunkan ketegangan anak dapat menempuh pendidikannya di sekolah.
Sebagai orang tua, dapat memulai dengan memperkenalkan budaya membaca sedari dini. Mengenalkan buku pada anak, melalui membacakan cerita apabila anak belum dapat membaca. Tidak memaksa anak untuk terus belajar, bersikap tenang ketika anak mendapatkan nilai merah, hingga menceritakan kisah-kisah tokoh inspiratif yang dapat menjadi idola mereka.
Sebagai guru, ikonik dunia pendidikan, agaknya mulai menciptakan suasana belajar yang santai serta sarat akan hiburan. Sesekali menonton film yang sesuai dengan usia mereka, membuatkan kelompok agar murid-murid dapat bereksperimen, hingga bersikap terbuka kapan saja kepada setiap siswa-siswinya. Guru, sebagai pihak yang terjun di lapangan langsung, juga dapat bersuara agar menghasilkan kurikulum yang terus lebih sempurna.
Sebagai pemerintah, memiliki tanggung jawab penuh dalam penyusunan sistem pendidikan yang kondusif. Bagaimana pun juga, anak-anak tersebut yang nantinya akan menduduki jabatan di level pemerintahan kelak.
Disinilah letaknya pengaruh lingkungan bagi kehidupan di sekolah. Apa yang berserakan di sekeliling mereka akan memberi dampak bagi mereka kembali. Sesuai dengan penggalan puisi Dorothy Law Nolte berjudul “Anak Belajar dari Kehidupannya”:
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
[Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.sc., Psikologi Komunikasi, hal.103, 2001, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung]
Dengan dukungan seluruh pihak dan tekad yang kuat, kita akan mampu menyusun sistem pendidikan terbaik bagi murid-murid di negeri ini. Masalah pendidikan yang menggelayut saat ini, bagaikan labirin luas, semuanya dapat dikubur dengan inovasi secara simultan. Berawal dengan menyusun kerangka di otak kalau guru adalah ibu sekolah murid-murid, kalau guru adalah pekerjaan yang bernilai tinggi, kalau guru adalah sahabat para siswa. Sebagai Kata Penutup Saya, Ada Kalimat “Besar” yang perlu kita ingat :
n/b. kutipan dari :
https://wurinugraeni.wordpress.com/2012/11/11/menciptakan-kehidupan-sekolah-yang-kondusif/